Rabu, 31 Januari 2018

Cerpen Kuntau



Kuntau


SEMUA bermula ketika tersiar selentingan Tuan Amir Dinajad, guru besar Perguruan Kuntau Harimau Kumbang di Muara Kelingi mengatakan kalau pertandingan akbar kuntau yang akan digelar di sekayu, tiga hari setelah perhelatan Idul Adha tahun ini, akan kembali mereka menangi. Mungkin apabila sebatas itu kata-katanya bersilenting, tak akan membuat panas telinga, tapi ketika diimbuhi bahwa pendekar dari Lereng Bukit Sulap di Lubuklinggau dan Lereng Bukit Siguntang di Palembang yang tahun menduduki tempat kedua dan ketiga juga takkan bisa berbicara banyak, lainlah ceritanya.
Entah bagaimana ceritanya, pengunjung tahun 1939 itu Palembang dan Lubuklinggau duduk bersama di rumah tinggi di Batuurip. Banyak yang mengira kalau dua negeri yang tak terlalu dekat itu akan membicangkan banyak siasat untuk mengusir kompeni, ternyata tidak. Palembang-Lubuklinggau sepakat membuat panji baru atas nama Karasidenan Palembang-Rawas untuk mengikuti perhelatan kuntau terkemuka di Sumatera Bagian Selatan di Sekayu bulan depan.
Para pendekar asal kedua negeri yang terkenal pongah itu pun akhirnya harus dikandangkan di Lereng Bukit Sulap. Ya, para guru besar dari Perguruan Sultan Berani, Musi mengamuk, dan Cakar Macam dari Palembang dan perguruan Harimau-Harimau dan Harimau Maung dari Lubuklinggau bersepakat utuk menyumpal mulut besar Amir Dinajad. Mulanya para pendekar dari kedua negeri mengawali perkenalan dengan kaku sebab mereka merasa memiliki kemampuan kuntau yang sepadan. Namun, tak agungkan nama Tuan Guru Muhammad Amja, guru besar Perguruan Harimau Maung yang diamanahi untuk mengawasi rombongan pendekar muda itu, bila ia tak mampu meleburkan ketegangan dua penjuru yang memiliki sejarah pertandingan kuntau yang saling mengalahkan itu.
“Kalian harus memahami apa hakikat kuntau yang sebenarnya,” ujarnya membuka latihan di hari pertama pertemuan para pendekar di Lereng Bukit Sulap.
“Kuntau bukan sekadar beladiri kebanggaan Sumatera sebagaimana silat. Kuda-kuda kuntau tak pernah menunjukkan nafsu menyerang, tapi menyerap kekuatan lawan untuk kemudian menyaksikan bagaimana lawanmu akan jatuh terhuyung oleh keberingasannya. Kuntau bukan tentang mengalahkan, tapi memenangkan pertarungan di dalam diri sendiri. Bagaimana kalian akan mengalahkan lawan kalau melawan sosok yang paling kalian kenal saja kalian tak mampu. Tahu kalian siapa yang paling kalian kenal? Diri kalian sendiri. Dan tahu kalian siapa diri kalian dalam pertandingan yang akan kita hadapi bulan depan? Perguruan Kuntau Palembang Rawas adalah satu. Adalah diri kalian sendiri. Jadi kalau kalian sibuk dengan kepongahan kalian, tidak usah saja ada penyatuan ini. Kalian tahu apa artinya? Artinya kita membantah titah Sultan di Palembang dan para kepala puak di Lubuklinggau yang telah mengamanahi penyatuan ini. Paham?”
Tak ada suara selain anggukan serempak.
“Lagipula, aku tak ingin melihat pertandingan ini akan menodai hari raya kita karena itu artinya kabar gembira bagi kompeni! Aku tak ingin pertandingan akan menimbun dendam lama dan menumbuhkan permusuhan yang baru. Bakda pertandingan, membaurlah, kecuali keadaan belum memungkinkan.”
Para pendekar itu masih menunduk.
“Tahu kalian arti ‘keadaan belum memungkinkan itu?'”
Masih hening.
“Dan, kita pernah mengalaminya. Ketika Tanjung Bara tewas di tangan Amir Dinajad! Kalian tahu, kami semua mati-amatian menahan amarah demi menghormati pertandingan. Pertandingan nahas itu berlangsung di bulan Syawal, sepekan bakda Idul fitri, sepekan bakda kami berjabat tangan dan berangkulan hangat.
Makin hening.
Sejak itu, tak ada lagi sekat dan jarak. Dua belas pendekar itu latihan dengan giat dalam kumpulan yang selalu dirombak oleh Tanjung Hitam, pendekar muda berusia 20-an yang diamanahi untuk menjadi pendekar pertama yang artinya menjadi ketua rombongan. ia kerap bermusyawarah dengan tuan gurunya untuk taktik terbaik mengalahkan para pendekar dari negeri lain, termasuk dari Perguruan Harimau Kumbang yang memenangi pertandingan lima tahun belakangan.
“Tapi Tanjung…,” Tuan Guru Muhammad Amja menggantungkan kalimatnya di tengah-tengah perbincangan mereka tentang urutan nama petarung, “dalam tiga pekan ini aku melihat kau begitu bersemangat melatih pendekar dari Palembang itu.”
“Abdullah Kasip?”
Tuan Guru mengangguk. “Dia mirip almarhum ayahmu, kan?”
Tanjung Hitam mendongak. 
“… dan dia menunjukkan perkembangan yang sangat bagus,” lanjut Tuan Guru, “tapi… mengapa kau hanya menjadikannya pendekar pengganti?”
“Dia memang bagus, Tuan Guru, tapi belum matang.”
“Apakah masih ada peluang dia masuk senarai utama?”
“Saya akan terus memantau perkembangannya, Tuan Guru.”
“Setiap melihatnya, aku terbayang mendiang ayahmu,” Tuan Guru menerawang, “Si Tanjung Bara bukan hanya tampan tapi juga gagah berani bertarung. Meskipun ia tewas di tangan Amir Dinajad dalam sebuah pertarungan yang panjang, dia akan tetap dikenang sebagai pendekar kuntau kebanggaan kita.”
Sejak itu, Tanjung Hitam tak terlalu rajin melatih Abdullah Kasip. Dan itu menyebakan ia mati-matian bertarung dengan perasaan yang terus membuncah dan bisa meledak kapan saja. Bahkan ia membagi laga para pendekar menjadi empat kumpulan dan memisahkan mereka dalam jarak yang cukup jauh. Kumpulan utama di lereng, kumpulan kedua di tengah, dan kumpulan cadangan yang dihuni Abdullah Kasip terletak di balik bukit atau yang paling jauh dari pondokan ia dan Tuan Guru.
“Apa pertimbangamu dengan pemisahan ini?” Tuan Guru seolah meminta pertanggungjawabannya.
“Ampun, Tuan Guru, saya hanya ingin menguji keterikatan hati antamereka?”
Benar saja, keterikatan hati para pendekar ternyata sangat teruji dengan berbagai siasat latihan yang Tanjung Hitam terapkan. Salah satunya ketika ia  meminta para pendekar untuk menemukan pendekar yang lain di tengah malam dan disaksikan oleh Tuan Guru Muhammad Amja. 
“Aku bangga padamu,” ujar Tuan Guru Muhammad Amja begitu melihat para pendekar bisa terhubung tanpa melihat satu sama lain. “Sejatinya mereka harus berjuang mencari jalan di tengah rimba bukit sebelum menemukan satu sama lain. Dan… mereka seperti melakukan semuanya dengan mata terbuka. Walaupun…,” Tuan Guru melirik Abdullah Kasip dan Nur Sembilah.
Kedua pendekar itu menunduk.
“… Ya, walaupun Nur dan Abdullah tidak berhasil saling menemukan….”
“Ampun Tuan Guru,” Nur Sembilah buka suara. Abdullah Kasip menoleh ke arahnya, “Sejatinya hati saya tertawan pada Tuan Guru seorang dan Zikri Muslim, tapi… seganlah saya mencari Tuan Guru sementara Zikri sudah bertemu Alum Merah.”
Tuan Guru Muhammad Amja mengangguk-angguk, “Aku serahkan keputusan pada pemimpin kumpulan ini.” Ia menoleh ke arah Tanjung Hitam, “Nah kau… Abdullah Kasip?”
Abdullah Kasip menunduk.
“Jangan mentang-mentang Tanjung Hitam memberimu perhatian lebih kau menjauh dari keakraban kumpulan ini.”
Tanjung Hitam meneguk liur. Sungguh ia tak enak hati mendengar kata-kata tuan gurunya.
“Pula…,” lanjut Tuan Guru, “Kau tampaknya lebih banyak merenung beberapa hari ini.”
Abdullah Kasip makin menunduk. “Kita bertarung dengan jurus, bukan tenaga dalam. Paham kau?”
Abdullah Kasip mengangguk tanpa berani mendongak. 
“Sebagai hukumannya, hingga menjelang hari pertandingan nanti kau harus mengikuti latihan keras dengan Tanjung Hitam.”
Tanjung Hitam ingin mengatakan sesuatu tapi tertahan.
“Tanjung, aku akan meninggalkan perkumpulan ini beberapa hari.”
Ada senyum yang mekar serta-merta dari bibir dua orang pendekar itu. Sebuah siasat memalukan sudah berputar-putar di kepala. 
***
HARI pertarungan pun tiba. Tanjung Hitam tampil prima sebagai pendekar pertama dari lima partai digelar. Sementara Abdullah Kasip dan Nur Semilah bersetia duduk di bangku pengganti. Dan… setelah menumbangkan Perguruan Tepak Sireh dari Selangt, Karasidenan Palembang-Rawas pun akan betemu dengan Perguruan Harimau Kumbang di pertarungan puncak.
Sebuah kecelakaan kecil sempat menguncang Karasidenan Palembang-Rawas ketika kaki kanan Ismail Lebut terkilir. Namun, perkara itu tidak sampai tersiar ke perkumpulan Muara Kelingi ketika Tanjung Hitam menggantinya dengan Nur Sembilah. Tapi, tidak itu saja guncangannya. Secara mengejutkan Tuan Guru Muhammad Amja mengganti Tanjung Hitam dengan dirinya.
“Ampun Tuan Guru,” Tanjung Hitam angkat suara. “Saya tahu kalau di partai puncak, setiap guru besar akan mengambil satu partai, tapi mengapa tak disilakan saya membalaskan dendam mendiang ayah?”
Tuan guru Muhammad Amja tersenyum dan menepuk pundak Tanjung Hitam, “Kau akan mengerti, Pendekar Hebat!”
Dan, sejarah pun tercipta. Untuk pertama kalinya dalam lima tahun terakhir, Tuan Guru Amir Dinajad membawa pulang para pendekarnya dengan muka tertunduk.
Keesokan harinya, bakda subuh, para pendekar dari Palembang sudah dijemput rombongan kerajaan untuk kembali.
“Tak bisakah biarkan kami bersama dalam beberapa hari atau sepekan ini, Tuan Guru?” pinta Tanjung Hitam, “Saya pikir para pendekar lain pun sepakat dengan apa yang saya utarakan.”
“Kenapa?” suara Tuan Guru terdengar dingin.
“Adalah tak mudah meleburkan dua belas pendekar dengan kepongahan masing-masing hingga akhirnya kami sedekat ini, Tuan Guru.”
Tuan Guru Muhammad Amja mengangguk-angguk. “Bagaimana?” tanyanya pada Tuan Guru Sultan Pucuk yang baru tiba dari Palembang.
“Kami ke sini tentu saja untuk menjemput mereka sebagaimana titah Sultan, tapi… kami percayakan semuanya pada kau Muhammad Amja,” ujarnya dengan wajah semringah, “Kalau kau menerima usulan Tanjung Hitam, aku akan memberi pengertian pada kerajaan. Hitung-hitung sebagai hadiah kemenangan mereka.”
Kedua belas pendekar memasan wajah bahagia. Sungguh, mereka tak ingin dipisahkan dengan begitu segera setelah sebulan kebersamaan yang hangat. 
“Kompeni sedang gencar-gencarnya menyerang,” lanjut Tuan Guru Muhammad Amja, “Apa kata Tuhan dan malaikat-Nya kalau kita merayakan kemenangan di tengah gemuruh perang yang berkecamuk.”
Hening.
“Saya harap tak ada lagi yang membantah!” suara Tuan Guru Muhammad Amja terdengar menggelegar, “Semua pendekar dari Palembang lekas ke stasiun dan semua pendekar dari Lubuklinggau kusilakan mengantar dengan kuda, kecuali Tanjung Hitam!”
***
TUAN Guru Muhammad Amja membuat Tanjung Hitam berlutut dan menangis sejadi-jadinya.
“Aku masih bisa memaafkan kau yang terlalu menjaga Abdullah Kasip agar ia tak cedera sebab ia mengingatkanmu pada mendiang ayahmu. tapi, aku tak bisa memaafkan percintaan kalian di pondokan ketika aku pura-pura pamit meninggalkan latihan. Seorang yang tak lagi lurus macam kau takkan mampu membalaskan dendammu pada Amir Dinajad selama wajah Abdullah Kasip masih berkelebatan di dalam kepalamu. Kusarankan, tinggalkanlah kuntau ini. Dan enyahlah dari hadapan kami sebelum Idul Adha tiba. Ke mana saja kau akan mengembara, aku tak peduli. Dan kau… tak perlu menceritakan hukuman ini pada siapa pun. Karena bukan iba yang akan kau dapat. Paham kau?” ***

Lubuklinggau, September 2015

Benny Arnas tinggal di Lubuklinggau. Tengah mempersiapkan kelahiran dua buku barunya akhir tahun ini: Tanjung Luka (novel, GPU) dan Eric Stockholm & Perselingkuhan-Perselingkuhan yang Lain (kumpulan cerita, Mizan).
Rujukan:
[1] Disalin dari karya Benny Arnas
[2] Pernah tersiar di surat kabar “Jawa Pos” Minggu 25 Oktober 2015

Sumber : https://klipingsastra.wordpress.com/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar