Rabu, 07 Februari 2018

Pangsi, budaya Indonesia yang multi kultur.

Apabila mendengar kata “Pangsi” maka yang sering terpikir di kepala kita dalah suatu busana yang longgar dengan panjang celannya tidak melebihi mata kaki yang biasanya di pakai oleh jawara atau pemuka masyarakat, padahal lebih dari itu berdasarkan sejarah yang ada bahwa Catatan dari Tiongkok di mengabarkan bahwa masyarakat Melayu baik perempuan maupun lelaki pada abad ke-13 hanya mengenakan penutup tubuh bagian bawah. Dalam perkembangannya, perempuan Melayu memakai sarung dengan model "berkemban" yakni melilitkan sarung di sekeliling dada. Celana juga mulai dipakai, dengan model "Gunting Aceh" yaitu celana yang panjangnya hanya sedikit di bawah lutut.


Namun kemudian perdagangan membawa pengaruh budaya asing. Barang-barang dari Tiongkok, India, dan Timur Tengah berdatangan. Selain perniagaan, hal ini juga memaparkan masyarakat Melayu kepada cara berpakaian orang-orang asing tersebut. Orang Melayu juga mengadopsi Islam sebagai agama mereka, dan ini memengaruhi cara berpakaian karena di dalam agama baru ini terdapat kewajiban untuk menutup aurat baik bagi perempuan maupun laki-laki. Puncaknya adalah pada tahun 1400an, di mana pakaian Melayu digambarkan dengan jelas dalam karya kesusasteraan Sejarah Melayu (Malay Annals). Di sinilah kita dapat melihat kemunculan baju kurung, di mana sudah mulai lazim bagi orang Melayu untuk memakai semacam tunik untuk menutupi tubuh mereka.( Kutipan wikipedia.com)

Dari penyebaran para pedagang pada abad ke -14 yang mulai merambah ke seluruh pelosok nusantara sehingga dari sumatera, jawa, batavia, bali, nusa tenggara, sulawesi, kalimantan yang berakulturisasi dengan budaya setempat sehingga model baju tersebut bertahan hingga saat ini.

Sebagian suku pun saling menunjukan jati dirinya kalau pangsi merupakan pakaian identik dari daerah mereka seperti betawi dan sunda, karena dari dahulu sampai saat ini mereka masih mempertahankan penggunaan pangsi ini, padahal jika di lihat secara mendetail akan terdapat perbedaan baju pangsi dari setiap daerah. 

1. Pangsi Sunda

Belum ada catatan dan dokumen khusus mengenai keabsahan filosofi pangsi Sunda karena diwariskan secara turun-temurun. Itu sebabnya banyak orang berpendapat bahwa filosofi pangsi Sunda hanya sekedar kirata (dikira-kira tapi nyata). Terlepas dari kontroversi masalah tersebut makna yang terkandung tidak bertentangan dengan adat, budaya, dan agama di Indonesia sehingga bisa dijadikan falsafah dan tuntunan hidup di masyarakat.

Para sesepuh baheula (nenek moyang) menjelaskan bahwa dalam setiap bentuk dan jahitan pangsi mengandung makna yang dapat dijadikan pengingat para pemakainya agar selalu introspeksi. Di bawah ini adalah penjelasan singkat mengenai filosofi pangsi Sunda yang terkandung dalam bagian-bagian pangsi.

Cacagan Pangsi Sunda

Foto by : http://www.galeri-iket.com/

Menurut Kang Curahman (Tjurahman), "Pangsi itu singkatan dari Pangeusi Numpang ka Sisi" yakni pakaian penutup badan yang cara pemakaiannya dibelitkan dengan cara menumpang seperti memakai sarung. Pangsi terdiri dari tiga susunan yakni "Nangtung, Tangtung, Samping. Banyak orang yang menyebut baju koko atau komprang dengan istilah pangsi karena warnanya hitam padahal sebenarnya desainnya sangat berbeda.

Foto by : http://www.galeri-iket.com/
Berdasarkan fungsinya, pangsi terdiri dari dua bagian yaitu bagian atas (baju) disebut dengan "Salontreng" dan bagian kedua adalah bagian bawah (celana) disebut dengan "Pangsi". Namun demikian kita tidak bisa menyalahkan mereka yang menyebut "Pangsi" untuk keduanya yakni baju dan celana.

Dulu, susunan pangsi buhun tidak dipasang karet, tali, dan saku celana. Selain itu warna samping (9) adalah putih, warna salontreng hitam, dan warna pangsi hitam. Namun karena tuntutan kebutuhan, kini model pangsi sedikit dimodifikasi tanpa menghilangkan arti dan makna filosofi pangsi itu sendiri.

Di bagian salontreng (1) dibuat tanpa kerah baju (2) dan terdiri dari lima atau enam kancing (6). Dalam agama Islam, lima kancing menunjukkan rukun Islam sedangkan enam kancing menunjukkan rukun iman. Jahitan yang menghubungkan badan dan tangan disebut dengan istilah beungkeut (4) yang mengandung arti "Ulah suka-siku ka batur, kudu sabeungkeutan, sauyunan, silih asah, silih asih, silih asuh, kadituna silih wangi, asal kata dari nama kerajaan Sunda Siliwangi". Dalam bahasa Indonesia dapat diartikan "Tidak boleh jahil dan licik kepada sesama, harus satu kesatuan dan kebersamaan dalam ikatan batin, saling memberi nasihat, saling mengasihi, dan saling menyayangi, selanjutnya saling mengharumkan nama baik".

Di ujung tangan (3), di ujung celana (11) terdapat jahitan beungket khusus dan di bagain baju terdapat dua saku (5). Di bagian bawah (pangsi) dipasang karet dan tali yang berfungsi sebagai pengikat. Dulu tidak seperti ini (tanpa tali dan karet) karena pemakaiannya dilakukan dengan cara dibelitkan seperti sarung. Di bagian samping (9) dipasang jahitan pengikat (8). Samping (9) yang dulu berwarna hitam, kini dimodifikasi menjadi warna hitam karena disesuaikan dengan model dan mode pakaian modern. Menurut Kang Curahman, samping mengandung arti "Depe Depe Handap Asor", dalam bahasa Indonesia artinya "Selalu rendah hati dan tidak sombong".

Di bagian bawah (pangsi) terdapat Tangtung (10) yang mengandung makna "Tangtungan Ki Sunda Nyuwu Kana Suja", dalam bahasa Indonesia artinya "Mempunya pendirian yang teguh dan kuat sesuai dengan aturan hidup". Sedangkan Suja atau Nangtung (12) mengandung makna "Nangtung, Jejeg, Ajeg dina Galur. Teu Unggut Kalinduan, Teu Gedag Kaanginan", dalam bahasa Indonesia artinya Teguh dan kuat pendirian dalam aturan dan keyakinan, semangat tinggi dan tidak mudah goyah".

Kini istilah pangsi sering diidentikan dengan dengan baju dan celana warna hitam-hitam, padahal jika dilihat dari bentuk dan susunan jahitannya sangat berbeda. Namun demikian kita tidak bisa menyalahkan orang yang menyebut pangsi dengan istilah pakaian pangsi atau baju pangsi meski sebenarnya pangsi adalah bagian bawah pakaian atau celana, sedangkan bagian atas adalah salontreng.

2. Pangsi Betawi

Pada baju pangsi betawi ini menganut model ngablak atau tanpa kancing dengan jahitan polos, walaupun pada saat ini sudah banyak di buat pangsi betawi yang menggunakan kancing.

Adapun filosofi warna dari pangsi itu menggambarkan siapa yang menggunakan atau apa kedudukannya di dalam masyarakat seperti pangsi warna krem atau putih, dipake oleh jago silat yang juga pemuka agama. Biasanya pesilat yang mengenakan pangsi putih, dulu ngajinya sama engkong haji. Sedangkan warna hitam biasa dipakai para centeng, tapi ada juga yang dipakai kiai. Sementara, pangsi warna merah biasanya diartikan orang yang tinggi ilmu silatnya dan juga agamanya.

Foto by : http://www.orangbetawi.com/

Lebih lanjut Bachtiar (dari Sanggar Si Pitung, Rawabelong ) menjelaskan, “Dulu pangsi dan peci merah dipake oleh jawara atau tukang pukul yang ilmunya sudah tingkat tinggi, atau tukang jalan dan banyak pengalaman. Dalam dunia persilatan Betawi, kalau peci merah sudah turun, itu luar biasa. Ibarat pasukan elit, peci merah seperti tentara dengan baret merah. Artinya, menjadi ujung tombak untuk melakukan perlawanan.”

Ada yang mengatakan, peci dan pangsi merah sebagai simbol darah yang siap berkorban jiwa raganya. “Tapi saat ini pangsi merah dan peci merah hanya sebatas seni, siapa aja boleh pake peci dan warna merah. Seperti peci haji, siapun bisa pake,” tandas Bachtiar.

Soal kain sarung kotak-kotak yang disematkan di leher, yang menjadi bagian dari pangsi, tentunya bukan sekedar pemanis saja. Itu sarung bisa dijadikan senjata untuk mengkepret lawan.
Foto by : http://www.orangbetawi.com/

“Sarung yang kite pake bisa berfungsi untuk melipet senjata lawan seperti golok. Tingkatan ilmu guru ngaji yang jago silat, lawan jika dikepret dengan sarung, bisa-bisa klenger. Bahkan sarung juga bisa mengunci leher lawan. Jadi, bukan sarung sembarang sarung,” ungkap Bachtiar.

Bicara silat Betawi, tidak bisa dilepaskan dari ajaran Islam. Sebab, yang paling utama, sebelum main pukul adalah harus ngaji lebih dulu. “Memahami agama itu penting untuk memfilter dan mengerem kesombongan, lebih mengutamakan akhlak. Setelah punya basic agama, baru belajar main pukul sebagai bela diri. Jika kite tidak sombong, tapi lawan masih usil, maka kite harus bela diri untuk mempertahankan harga diri. Tidak benar, jika jawara Betawi jadi centengnya penguasa,” kata pimpinan Sanggar Si Pitung.

3. Pangsi Melayu

Untuk suku melayu sendiri juga memiliki pakaian sejenis pangsi 

Baju Kurung Teluk Belanga

Foto by : Google.com

Baju ini mula di perkenalkan di Teluk Belanga, Singapura dan tersebar luas sebagai ciri khas Johor khususnya pada abad ke-19. Ia juga dikatakan sejenis pakaian lelaki yang dikatakan telah direka oleh Sultan Abu Bakar pada tahun 1866 untuk meraikan perpindahan ibu negeri Johor dari Teluk Belanga di Singapura ke Johor Bahru. Ia menggabungkan ciri-ciri kebudayaan Melayu, Bugis dan Orang Laut.

Baju Kurung Teluk Belanga mempunyai alas leher berbentuk bulat dan belahan di bagian depan. Pada keliling leher baju dilapisi dengan kain lain dan dijahit "sembat halus" sementara bagian pinggiran bulatannya dijahit "tulang belut halus". Bagian pangkal belahan dibuatkan tempat untuk mengancingkan baju yang disebut "rumah kancing" dengan menggunakan jahitan benang "insang pari".

Potongan lengan baju panjang dan longgar, berkekek sapu tangan atau berkekek gantung. Potongan badan lurus dan mengembang di bagian bawah.

Tata cara pemakaian: Bagi laki-laki, Baju Kurung Teluk Belanga dipakai dengan baju dipakai di luar (menutupi) celana dan kain samping. Baju ini dipakai dengan bagian lehernya dikaitkan dengan satu kancing. Jika kancing yang digunakan diikat dengan sebiji batu maka disebut dengan kancing "garam sebuku". Jika diikat dengan beberapa batu maka disebut sebagai "kunang-kunang sekebun".

sumber :
http://www.orangbetawi.com/2016/08/pangsi-peci-merah-dan-sarungnye-orang-betawi/
http://www.galeri-iket.com/p/filosofi-pangsi-sunda.html
https://id.wikipedia.org/wiki/Baju_kurung

Tidak ada komentar:

Posting Komentar