Ilustrasi foto: Google |
Pada awalnya tenaga dalam hanya
dipelajari secara terbatas di berbagai perguruan silat. Para pendekar silat
yang tercatat sebagai guru bagi para pendiri perguruan silat tenaga dalam
generasi berikutnya antara lain:
- Abah Khoir, yang mendirikan silat Cimande, Cianjur
- Bang Madi, dari Batavia
- Bang Kari, dari Batavia
- Bang Ma'ruf, dari Batavia
- Haji Qosim, dikenal juga dengan nama Syahbandar atau Subandari, dari kerajaan Pagar Ruyung
- Haji Odo, seorang kiai dari pesantren di Cikampek
Perlu menjadi catatan bahwa pada masa ini
belum dikenal teknik pukulan tenaga dalam atau pukulan jarak jauh. Silat yang
diajarkan oleh Madi, Kari dan Syahbandar lebih bersifat fisik.
Baik Madi, Kari dan Syahbandar dikenal
sebagai pendekar silat (fisik) pada masanya. H. Qosim yang kemudian dikenal
sebagai Syahbandar atau Mama’ Subadar karena tinggal dan disegani masyarakat
desa Subadar di wilayah Cianjur. Sedangkan Madi dikenal sebagai penjual dan
penjinak kuda binal yang diimpor asal Eropa.
Dalam dunia persilatan Madi dikenal pakar
dalam mematah siku lawan dengan jurus gilesnya, sedangkan Kari dikenal sebagai
pendekar asli Benteng Tangerang yang juga menguasai jurus-jurus kung fu dan
ahli dalam teknik jatuhan.
Foto : google |
Perkembangan Selanjutnya
Pada tahun-tahun berikutnya, perkembangan
perguruan tenaga dalam layaknya MLM (Multi Level Marketing). Seseorang yang
belajar pada suatu perguruan memilih untuk mendirikan perguruan baru sesuai
selera pribadinya. Ini adalah gejala alamiah yang tidak perlu dimasalahkan,
karena setiap guru atau orang yang merasa mampu mengajarkan ilmu pada orang
lain itu belum tentu sepaham dengan tradisi yang ada pada perguruan yang pernah
diikutinya.
Pertimbangan merubah nama perguruan itu
dilatarbelakangi oleh hal-hal yang amat kompleks, mulai adanya ketidaksepahaman
pola pikir antara orang zaman dulu yang mistis dan kalangan modernis yang
mempertimbangkan sisi kemurnian aqidah dan ilmiah, disamping pertimbangan dari
sisi komersial. Yang pasti, misi orang mempelajari tenaga dalam pada masyarakat
sekarang sudah mulai berubah dari yang semula berorientasi pada ilmu kesaktian
menuju pada gerak fisik (olah raga) karena orang sekarang menganggap lawan
berat yang sesungguhnya adalah penyakit. Karena itu, promosi perguruan lebih
mengeksploitasi kemampuan mengobati diri sendiri dan orang lain.
Aliran perguruan tenaga dalam yang
mengeksploitasi kesaktian kini lebih diminati masyarakat tradisional. Dan
menurut pengamatan beberapa pihak, perguruan ini justru sering “bermasalah”
disebabkan pola pembinaan yang menggiring penganutnya pada sikap “kejawaraan”
melalui doktrin-doktrin yang kurang bersahabat pada aliran lain dari sesama
perguruan tenaga dalam maupun bela diri dari luar (asing).
Sikap ini sebenarnya bertentangan dengan
sikap para tokoh seperti Bang Kari yang selalu wanti-wanti agar siapapun yang
mengamalkan bela diri untuk selalu memperhatikan “sikap 5” yaitu :
- Jangan cepat puas.
- Jangan suka pamer.
- Jangan merasa paling jago.
- Jangan suka mencari pujian dan
- Jangan menyakiti orang lain.
Dan perlu diingat, perkembangan pencak
silat sebagai dasar dari tenaga dalam itu, baik pelaku maupun keilmuannya dapat
berkembang karena silaturahmi antar tokoh, mulai dari silat Pagar Ruyung Padang
yang dibawa H Kosim (Syahbandar), Bang Kari dan Bang Madi yang merangkum silat
Betawi dengan Kung Fu, juga Abah Khoir dengan Cimandenya, RH. Ibrahim dengan
Cikalongnya.
Setiap perguruan tenaga dalam memberikan sumbangsih tersendiri bagi masyarakat Indonesia. Margaluyu menorehkan tinta emas sebagai perguruan tua yang banyak mengilhami hampir sebagian besar perguruan di Indonesia, dan cabang-cabang dari perguruan ini banyak berjasa bagi pengembangan tenaga dalam yang ilmiah dan universal. Sin Lam Ba, Al-Hikmah, Silat Tauhid Indonesia berjasa dalam memberikan nafas religius bagi pesertanya, dan aliran Nampon berjasa dalam memberikan semangat bagi para pejuang di era kemerdekaan.
Terlepas dari sisi positif dari
aliran-aliran besar itu, pengembangan aliran tenaga dalam yang kini masih
memilih corak pengembangan bela diri dan kesaktian itu justru mendapat kritik
dari para pendahulunya.
Pada tahun 1984 Alm. Sidik murid dari H
Abdul Rosyid saat berkunjung ke wilayah Pati utara dan menyaksikan cara
betarung (peragaan) suatu perguruan “pecahan” dari Budi Suci, menyayangkan kenapa
sebagian besar dari siswa perguruan tenaga dalam itu sudah meninggalkan teknik
silat (fisik) sebagai basic tenaga dalam.
Artinya, saat diserang mereka cenderung
diam dan hanya mengeraskan bagian dada/perut. Kebiasaan ini menurutnya suatu
saat akan menjadi bumerang saat harus menghadapi perkelahian diluar gelanggang
latihan. Karena saat latihan hanya dengan “diam” saja sudah mampu mementalkan
penyerang hingga memberikan kesan bahwa menggunakan tenaga dalam itu mudah
sekali.
Mereka tidak sadar bahwa dalam
perkelahian di luar gelanggang latihan itu, suasananya berbeda. Dalam arena
latihan yang dihadapi adalah teman sendiri yang sudah terlatih dalam
menciptakan emosi (amarah).
Cara bela diri memanfaatkan tenaga dalam
yang benar menurut Alm. Sidik sudah dicontohkan oleh Nampon saat ditantang
jawara dari Banten dan saat akan dicoba kesaktiannya oleh KM Tamim. Yaitu,
awalnya mengalah dan berupaya menghindar namun ketika lawan masih memaksa
menyerang, baru dilayani dengan jurus silat secara fisik, menghindar, menangkis
dan pada saat yang dianggap tepat memancing amarah dengan tamparan ringan dan
setelah penyerang emosi, baru menggunakan tenaga dalam.
Pola pembinaan bela diri yang tidak
lengkap yang hanya fokus pada sisi batin saja, sering menjadi bumerang bagi mereka
yang sudah merasa memiliki tenaga dalam sehingga terlalu yakin bahwa
bagaimanapun bentuk serangannya, cukup dengan diam (saja) penyerang pasti
mental. Dan ketika mereka menghadapi bahaya yang sesungguhnya, ternyata
menggunakan tenaga dalam tidak semudah saat berlatih dengan teman
seperguruannya.
Fenomena pembinaan yang sepotong-potong
ini tidak lepas dari keterbatasan sebagian guru yang pada umumnya hanya pernah
“mampir” di perguruan tenaga dalam. Sidik mengakui banyak orang yang belajar di
Budi Suci hanya bermodal “jurus dasar” saja sudah banyak yang berani membuka
perguruan baru. Padahal dalam Budi Suci itu terdapat 3 tahapan jurus. Yaitu,
Dasar Jurus – Jodoh Jurus dan Kembang Jurus (ibingan).
Karena tergesa-gesa ingin membuka aliran
baru itu menyebabkan siswa sering tidak siap disaat harus menggunakan tenaga
dalamnya. Dan Yosis Siswoyo dari Bandar Karima memberikan konsep bahwa
keberhasilan memanfaatkan tenaga dalam ditentukan dari prinsip “min-plus” yang
dapat diartikan : Biarkan orang berniat jahat (marah), aku memilih untuk tetap
bertahan dan sabar.
Karena itu pembinaan fisik, teknik bela
diri fisik, teknik, kelenturan, refleks dan mental bertarung perlu ditanamkan
terlebih dahulu karena kegagalan memanfaatkan tenaga dalam lebih disebabkan
mental yang belum siap sehingga orang ingat punya jurus tenaga dalam setelah
perkelahian itu sudah usai.
Berdasarkan pengamatan, tenaga dalam
berfungsi baik justru disaat pemiliknya “tidak sengaja” dan terpaksa harus
bertahan dari serangan orang yang berniat jahat. Dan tenaga dalam itu sering
gagal justru disaat tenaga dalam itu dipersiapkan sebelumnya untuk “berkelahi”
dan akan lebih gagal total jika tenaga dalam itu digunakan untuk mencari
masalah.
Latihan Budi Suci Melati Foto : http://bumenrimbagroup.blogspot.co.id/ |
Tenaga dalam harus bersifat defensif atau
bertahan. Biarkan orang marah dan tetaplah bertahan dengan sabar dan tak perlu
mengimbangi amarah. Sebab jika pemilik tenaga dalam mengimbangi amarah, maka
rumusnya menjadi “plus ketemu plus” yang menyebabkan energi itu tidak
berfungsi. Dan dalam hal ini Budi Suci menjabarkan konsep “min – plus” itu
dengan sikap membiarkan lawan “budi” (bergerak/amarah) dan tetap mempertahankan
“suci” (sabar, tenang).
Memposisikan diri tetap bertahan (sabar)
sangat ditentukan tingkat kematangan mental. Dan pada masa Nampon dan H Abdul
Rosyid, tenaga dalam banyak berhasil karena dipegang oleh pendekar yang sudah
terlatih bela diri secara fisik (sabung) sehingga saat menghadapi penyerang
mentalnya tetap terjaga.
Sekarang semua sudah berubah. Orang
belajar tenaga dalam sudah telanjur yakin bahwa serangan lawan tidak dapat
menyentuh sehingga fisik tidak dipersiapkan menghindar atau berbenturan. Dan
karena tidak terlatih itu disaat melakukan kontak fisik, yang muncul justru
rasa takut atau bahkan mengimbangi amarah hingga keluar dari konsep “min-plus”.
Sejarah tentang tenaga dalam perlu diketahui oleh mereka yang mengikuti suatu aliran tenaga dalam. Ketidaktahuan tentang sejarah itu dapat menggiring seseorang bersikap kacang lupa kulit, bahkan memunculkan “anekdot spiritual” sebagaimana dilakukan seorang guru tenaga dalam yang karena ditanya murid-muridnya dan ia tidak memiliki jawaban lalu menjelaskan bahwa orang-orang yang ditokohkan dalam perguruan itu dengan jawaban yang mengada-ada.
Misalnya, Saman adalah seorang Syekh dari
Yaman, Madi disebut sebagai Imam Mahdi, Kari adalah Imam Buchori, Subandari
adalah Syeh Isbandari. Dan jawaban seperti itu tidak memiliki dasar dan konon
hanya berdasarkan pada kata orang tua semata.
Sumber : id.wikipedia.org/ MASRURI PATI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar